Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu'alaikum wr wb
Tanggal 10 Muharam bagi ummat Islam memiliki makna tersendiri. Sebagian dari mereka menyambutnya dengan rasa syukur dan kegembiraan yang biasanya diungkapkan dengan berpuasa pada hari itu, sedang sebagian yang lain menyambutnya dengan keprihatinan dan kesedihan. Bagaimana dua hal yang sangat kontras ini bisa terjadi?
Tulisan ini mencoba untuk mendudukkan posisi Asyura pada tempatnya yang tepat dalam khasanah Islam. Benarkah puasa Asyura itu merupakan Sunnah Nabi atau bukan?
Sebagai bahan pembahasan adalah hadis riwayat Imam Muslim di bawah ini:
"Ibnu Abbas berkata: "Apabila Nabi Muhammad S.A.W. telah berhijrah ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura'. Rasulullah S.A.W bertanya : "Berpuasa apakah kamu ini ?" Orang-orang Yahudi itupun menjawab: "Hari ini hari besar . Pada hari ini Allah menyelamatkan Nabi Musa A.S. dan menenggelamkan Fir'aun dengan bala tenteranya, maka Nabi Musa telah berpuasa sebagai tanda bersyukur kepada Allah pada hari ini. Maka kami pun berpuasa juga." Rasulullah S.A.W. menjawab: "Kamilah yang lebih berhak mengikuti jejak Nabi Musa A.S. daripada kamu." Lalu Rasulullah S.A.W. berpuasa dan menyuruh sahabat-sahabatnya agar berpuasa juga pada hari itu." (HR Imam Muslim).
Berikut ini akan diperlihatkan kejanggalan atau kontradiksi yang terdapat pada "hadis" di atas:
1. Para ahli sejarah sepakat bahwa Nabi hijrah ke Madinah pada bulan Rabiulawwal. Dalam "hadits" di atas dikatakan bahwa nabi melihat orang Yahudi berpuasa asyura ketika beliau hijrah ke Madinah.
Pertanyaannya: Apakah bukan suatu kemusykilan orang berpuasa 10 Muharam (asyura) pada bulan Rabi'ulawal?. Analoginya, apakah bukan suatu kemusykilan kita sholat Jum'at pada hari Sabtu atau hari yang lain? Apakah bukan suatu kemusykilan kita puasa Ramadhan pada bulan Dzulhijah atau bulan yang lain? dan sebagainya.
2. Pada waktu Nabi hijrah ke Madinah, Abdullah Ibnu Abbas masih berusia sekitar 3 (tiga) tahun dan ketika itu beliau masih berada di Mekah (jadi tidak ikut hijrah bersama Nabi).
Pertanyaannya: bagaimana mungkin orang yang berada di Mekah dapat mengetahui secara langsung peristiwa yang terjadi di Madinah? Padahal orang tersebut tidak berada ditempat kejadian. Apalagi dia seorang anak yang baru berusia 3 tahun.
Mungkin anda akan berpikir, bisa saja Ibnu Abbas mendengar dari orang lain. Bila demikian halnya maka anda sedang berspekulasi. Sebab, beliau (Ibnu Abbas) tidak mengatakan bahwa beliau mendengar dari orang lain.
3. Nabi mengajarkan kepada umatnya agar jangan meniru orang Yahudi. Bagaimana mungkin sekarang nabi sendiri melakukan perbuatan yang dilarang oleh beliau? Mustahil. Mungkin anda akan berpikir, bisa saja nabi meniru orang Yahudi kalau itu untuk kebaikan. Sekali lagi anda sedang berspekulasi. Karena tidak pernah ada ralat tentang sabda beliau mengenai pelarangan meniru orang Yahudi. Selain dari pada itu tidak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur'an yang memerintahkan puasa 10 Muharam, lain halnya dengan puasa Ramadhan ataupun sholat yang dikatakan dikerjakan pula oleh orang-orang sebelum kita (ummat Muhammad). Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa puasa Ramadhan atau sholat adalah meniru orang Yahudi.
4. Menurut fakta sejarah, peristiwa di laut merah tersebut (selamatnya Nabi Musa as dan pengikut beliau, serta tenggelamnya Fir'aun bersama tentaranya) terjadi pada bulan Rabiulawwal.
5. Menurut perbandingan agama, tidak ada ajaran Yahudi yang mengajarkan puasa asyura. Singkatnya, orang Yahudi tidak mengenal ajaran puasa asyura (puasa 10 Muharram).
6. Dari point 4 & 5 di atas, kita akan melihat kejanggalan yakni orang menyebut sesuatu (puasa asyura) yang tidak pernah dia kenal atau ketahui sebelumnya. Mungkin anda berpikir, bisa saja orang Yahudi tersebut tidak kenal puasa asyura dan pada waktu itu dia berbohong kepada nabi. Apakah bukan suatu hal yang mustahil Allah tidak memberitahu kepada KekasihNya tentang kebohongan itu? Dan kemudian membiarkan KekasihNya mengamalkan sesuatu berdasar kebohongan? Akal kita jelas akan menolaknya.
Setelah mengetahui adanya kemutahilan-kemustahilan di atas, mungkin anda akan bertanya: Kalau demikian, dari mana datangnya ajaran puasa asyura atau puasa 10 Muharram?
Fakta-fakta seputar tanggal 10 Muharram:
1. Pada tanggal 10 Muharram telah terjadi peristiwa pembantaian di Karbala terhadap Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah saaw, beserta keluarga dan para pengikutnya oleh bala tentara Yazid bin Mu’awiyah.
2. Kepala Sayyidina Husein as dipenggal dan kemudian diarak menuju Syria (Syam).
3. Setelah sampai disana, Yazid mempermainkan kepala Sayyidina Husein as dan berkata bahwa dia telah membalaskan dendam atas keluarganya yang terbunuh pada Perang Badar.
4. Sebagai rasa syukur, Yazid yang sedang berkuasa saat itu menetapkan tanggal 10 Muharram sebagai 'Hari Kemenangan' dan memerintahkan untuk selanjutnya berpuasa pada tanggal itu.
Senjata apakah yang paling ampuh untuk melegitimasi suatu amalan dan bisa diterima oleh ummat kalau bukan hadis? (sebab kalau menambah sesuatu pada Al Qur'an jelas tidak mungkin dan akan cepat ketahuan). Maka, dengan mudah dapat ditebak darimana munculnya hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saaw tsb.
Sebagai bahan perbandingan, menurut penelitian atas Perjanjian Baru (New Testament) yang dilakukan oleh sekitar 75 cendekiawan Nasrani dari seluruh dunia pada tahun delapanpuluhan, menyimpulkan bahwa 80% isinya bukan ucapan Yesus (kita mengenal beliau sebagai Nabi Isa as). Artinya hanya 20% yang ucapan Yesus. Dan dari 20% tsb tidak ada satu katapun dari Yesus yang mengajarkan tentang trinitas. Lebih jauh hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa menurut Yesus sendiri beliau adalah Utusan Tuhan (bukan anak Tuhan apalagi Tuhan itu sendiri).
Kalau orang lain saja, yang sering kita katakan dogmatis, mau menggunakan akalnya dalam urusan agama mereka, mengapa kita sebagai ummat Islam yang justru diperintahkan oleh agama kita agar menggunakan akal kita, merasa tabu untuk menggunakan akal dalam urusan agama dan lebih suka memilih taklid buta? Ironis sekali.
Sebagai orang yang mencintai Rasulullah saaw, tentu kita tidak ingin menyakiti beliau. Ada ancaman yang sangat keras dari Allah SWT bagi orang yang berbuat demikian.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya (mengutuknya) didunia dan diakhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan (Q.S. 33:57)”.
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih (Q.S. 9:61)”
Kita tahu betapa Nabi Muhammad sangat mencintai dan menyayangi kedua cucu beliau saaw dan menyebutnya sebagai Para Penghulu Pemuda di Surga.
Bersama dan mengikuti orang yang tidak hanya menyakiti bahkan menyembelih cucu Nabi sama saja dengan ikut mengundang laknat Allah.
Camkan dan berhati-hatilah. Jangan sampai yang dikehendaki pahala tapi malah dosa dan laknat yang didapat. Naudzubillah min dzalik.
Bahan-bahan referensi atas uraian saya di atas terutama yang berhubungan dengan Tragedi Karbala tanggal 10 Muharram:
1. Lihat 'Islam Aktual' oleh Dr.Jalaluddin Rakhmat
2. Lihat 'Sawa'iq al-Muhriqah', oleh Ibn Hajar al-Haythami
3. Lihat 'al-Radd Ala al-Muta'assib al-Aneed', oleh Ibn al-Jawzi
4. Lihat 'Tarikh Alisalm'
5. Lihat 'Tarikh al-Kabir',oleh al-Bukhari
6. Lihat 'Fada'il al-Sahaba' oleh Ahmad Ibn Hanbal
7. Lihat 'Musnad Ahmad Hanbal'
8. Lihat 'Dala'il an-Nubuwwah', oleh al-Bayhaqi
9. Lihat 'Mishkat al-Masabih, oleh al-Nawawi.
10. Tentang perintah menggunakan akal, lihat Al Qur'an a.l. S. Muhammad: 19, S.al-Baqarah: 209, 231, 260, 244 dll.
Wassalam